Pernikahan Menurut Islam dari Mengenal Calon Sampai Proses Akad Nikah
Proses  mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung”  sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang  penuh adab. Bukan “Coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.
Islam  telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses  sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih.  Berikut ini kami bawakan perinciannya:
1. Mengenal calon pasangan hidup
Sebelum  seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia  harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya,  begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat  menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang  dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka  menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon  pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya  tanpa kita sangsikan.
Adapun  mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui  siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya  dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari  informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita  ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.
Yang  perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada  fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti  bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan  alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri.  Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga  dirinya dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin  Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui  telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah  dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak  apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang  telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan  pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas  kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu  dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih  jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan  laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum  berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling  mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram,  bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا
“Maka  janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga  berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah  ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang  wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila  ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada  fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh  macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin  Fauzan 3/163-164)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
Ada beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki untuk memerhatikannya:
- Wanita itu shalihah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ  النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا  وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita  itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.) dinikahi karena empat perkara,  bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya,  dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang memiliki agama.  Bila tidak, engkau celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620  dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
-Wanita itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ
“Nikahilah  oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku  berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya  jumlah kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 3227, Abu Dawud no. 1789, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 1784)
-Wanita tersebut masih gadis1, yang dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna.
Jabir  bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika memberitakan kepada Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia telah menikah dengan seorang  janda, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ؟
“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”
Namun  ketika Jabir mengemukakan alasannya, bahwa ia memiliki banyak saudara  perempuan yang masih belia, sehingga ia enggan mendatangkan di tengah  mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka sehingga tak bisa  mengurusi mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memujinya,  “Benar apa yang engkau lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan  Muslim no. 3622, 3624)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ
“Hendaklah  kalian menikah dengan para gadis karena mereka lebih segar mulutnya,  lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 623)
2. Nazhar (Melihat calon pasangan hidup)
Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:
ياَ  رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي. فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ  اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ  طَأْطَأَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رًأْسَهُ
“Wahai  Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat ke arah wanita tersebut.  Beliau mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian  beliau menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)
Hadits  ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka  dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan  mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)
Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، يَعْنِي الصِّغَرَ
“Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Demikian  pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meminang seorang  wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
“Lihatlah  wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk  melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).” (HR. An-Nasa`i no. 3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 96)
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “Dalam  sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Al-Mughirah  radhiyallahu ‘anhu: “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang  tersebut?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum  khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata  ia membatalkan khitbahnya karena setelah nazhar ternyata ia tidak  menyenangi si wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18)
Bila  nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si  wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika  si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu membatalkan  lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati. (Al-Minhaj  Syarhu Shahih Muslim, 9/214)
Sahabat Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku  meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga  aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya  kepada Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau  adalah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Kata Muhammad, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا
“Apabila  Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk meminang seorang  wanita maka tidak apa-apa baginya melihat wanita tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Boleh melihat wanita yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا  خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ  إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ، وَإِنْ  كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ
‘Apabila  seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa  baginya melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk  meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang  dilihat).” (HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan Ath-Thabarani dalam  Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang shahih, lihat  Ash-Shahihah 1/200)
Pembolehan  melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan dan  tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur ulama.
Adapun Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat darinya menyatakan, “Aku  tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu  karena khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat.”  Dan dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat  wanita yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita  masih belum jadi istrinya. (Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar  2/372, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)
Haramnya berduaan dan bersepi-sepi tanpa mahram ketika nazhar (melihat calon)
Sebagai  catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar tidak boleh  lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat)  dengan si wanita. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259)
Karenanya  si wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya, baik saudara  laki-laki atau ayahnya. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Bila  sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin  dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna  melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan  kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul  Qaththan Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214,  Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)
Batasan yang boleh dilihat dari seorang wanita
Ketika  nazhar, boleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa tampak di  depan mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang  bekerja di rumahnya, seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala,  dua betis, dua telapak kaki dan semisalnya. Karena adanya hadits  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَي مَا يَدْعُوهُ إِلىَ نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
“Bila  seorang dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu melihat dari  si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia  melakukannya.” (HR. Abu Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 99)
Di  samping itu, dilihat dari adat kebiasaan masyarakat, melihat  bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap memberatkan atau aib.  Juga dilihat dari pengamalan yang ada pada para sahabat. Sahabat Jabir  bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika melamar seorang perempuan, ia  pun bersembunyi untuk melihatnya hingga ia dapat melihat apa yang  mendorongnya untuk menikahi si gadis, karena mengamalkan hadits  tersebut. Demikian juga Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu  sebagaimana telah disinggung di atas. Sehingga cukuplah hadits-hadits  ini dan pemahaman sahabat sebagai hujjah untuk membolehkan seorang  lelaki untuk melihat lebih dari sekadar wajah dan dua telapak tangan2.
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Sisi  kebolehan melihat bagian tubuh si wanita yang biasa tampak adalah  ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan melihat wanita  yang hendak dipinang dengan tanpa sepengetahuannya. Dengan demikian  diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat bagian tubuh si wanita yang  memang biasa terlihat karena tidak mungkin yang dibolehkan hanya melihat  wajah saja padahal ketika itu tampak pula bagian tubuhnya yang lain,  tidak hanya wajahnya. Karena bagian tubuh tersebut memang biasa  terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya sebagaimana dibolehkan  melihat wajah. Dan juga karena si wanita boleh dilihat dengan perintah  penetap syariat berarti dibolehkan melihat bagian tubuhnya sebagaimana  yang dibolehkan kepada mahram-mahram si wanita.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil Makhthubah)
Memang dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika nazhar ini didapatkan adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama3.
3. Khithbah (peminangan)
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila  seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih  dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram  baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi  wa sallam pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
“Tidak  boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya  hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya  (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:
الْمُؤْمِنُ  أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلى  بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ
“Seorang  mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah halal  baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal  pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga  saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”
Perkara  ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi pihak wanita  meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih menyukai  peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama muslim  dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau  peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita,  atau peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh bagi peminang  kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)
Setelah  pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad  akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan tersebut, si  lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama  belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga janganlah seorang muslim  bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj,  hal. 28)
Jangankan  duduk bicara berduaan, bahkan ditemani mahram si wanita pun masih dapat  mendatangkan fitnah. Karenanya, ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin  rahimahullahu dimintai fatwa tentang seorang lelaki yang telah meminang  seorang wanita, kemudian di hari-hari setelah peminangan, ia biasa  bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan  didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang  syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita. Namun pembicaraan  mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Lalu  apa jawaban Syaikh rahimahullahu? Beliau ternyata berfatwa, “Hal  seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena, perasaan pria bahwa  wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan  membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri  dan budak perempuan yang dimiliki adalah haram. Sesuatu yang  mengantarkan kepada keharaman, hukumnya haram pula.” (Fatawa Asy-Syaikh  Muhammad Shalih Al-Utsaimin, 2/748)
Yang perlu diperhatikan oleh wali
Ketika  wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita  atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya  ia memerhatikan perkara berikut ini:
-Memilihkan  suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang  demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka  hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa  sallam pernah bersabda:
إِذَا  خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ،  إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila  datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan  akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian  menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak  melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang  besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
-Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.
Persetujuan  seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu. Abu  Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata menyampaikan hadits Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ  تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى  تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ:  أَنْ تَسْكُتَ
“Tidak  boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai  pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai  izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana izinnya seorang  gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab beliau. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
4. Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab  adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan  dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya,  misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Sebelum  dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah  yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah. Lafadznya  sebagai berikut:
إِنَّ  الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ  إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ  أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ  فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ  شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. (آل عمران: 102)
يَاأَيُّهَا  النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ  وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً  وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ  كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. (النساء: 1)
يَاأَيُّهَا  الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا. يُصْلِحْ  لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ  وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. (الأحزاب: 70-71)
5. Walimatul ‘urs
Melangsungkan  walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi,  menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena  adanya perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada  Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu ketika mengabarkan kepada beliau  bahwa dirinya telah menikah:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)
Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyelenggarakan walimah ketika  menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu  disebutkan:
مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ
“Tidaklah  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika  menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan  ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara  walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)
Walimah  bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan  bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin  baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul, karena demikian yang  dinukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik  radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah  dengan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha dan beliau jadikan kemerdekaan  Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari  kemudian.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf  hal. 74: “Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan sebagaimana  dalam Fathul Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara  makna.”)
Hendaklah  yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih,  tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang  dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak diundang,  maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek makanan.  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ
“Sejelek-jelek  makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah  tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak  diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)
Pada  hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis rebana kecil,  tanpa keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara  gemerincing-, ed.) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya  pernikahan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ
“Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1994)
Adapun  makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan  penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia.  (Syarhus Sunnah 9/47,48)
Al-Imam  Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan satu bab dalam Shahih-nya,  “Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan hadits  Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha yang mengisahkan  kehadiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pernikahannya.  Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari merangkai kata-kata  menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka yang terbunuh dalam  perang Badr, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  mendengarkannya. (HR. Al-Bukhari no. 5148)
Dalam  acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian atau  memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya haram.
Disunnahkan  bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai  dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَنَّ  النَّبِيَّّ صلى الله عليه وسلم كاَنَ إِذَا رَفَّأَ اْلإِنْسَاَن، إِذَا  تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ  بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
“Adalah  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila mendoakan seseorang yang  menikah, beliau mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan  memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR. At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
6. Setelah akad
Ketika  mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia  ingin masuk menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan  beberapa perkara berikut ini:
Pertama:  Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena  dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian  pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong  kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya.  Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,  beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana  berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha (HR. Muslim no. 590).
Kedua:  Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana  akan disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu  ‘anhuma.
Ketiga:  Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas  minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid  bin As-Sakan radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah  radhiyallahu ‘anha untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah selesai aku memanggil Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang  dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas  susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang  menunduk malu.” Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari  tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah pun mengambilnya  dan meminum sedikit dari susu tersebut.” (HR. Ahmad, 6/438, 452,  458 secara panjang dan secara ringkas dengan dua sanad yang saling  menguatkan, lihat Adabuz Zafaf, hal. 20)
Keempat:  Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya  (ubun-ubunnya) sembari mendoakannya, dengan dalil sabda Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا  تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ  بِنَاصِيَتِهَا وَلْيُسَمِّ اللهَ عز وجل وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ  وَلْيَقُلْ: اللّهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا  جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا  جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
“Apabila  salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang  budak maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah  Subhanahu wa Ta’ala, mendoakan keberkahan dan mengatakan: ‘Ya Allah, aku  meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau  ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari  kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di  atasnya’.” (HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Kelima:  Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan  istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini  dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin Rabi’ah  Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku berstatus budak.  Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di  antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzaifah radhiyallahu  ‘anhum. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk mengimami. Namun  orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku menanyakan mengapa  demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku pun maju  mengimami mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku  dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua  rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari  kebaikannya dan berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu  dengan istrimu.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf,  demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam  Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1  Namun bukan berarti janda terlarang baginya, karena dari keterangan di  atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperkenankan Jabir  radhiyallahu ‘anhu memperistri seorang janda. Juga, semua istri  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dinikahi dalam keadaan janda,  kecuali Aisyah rad..
3 Bahkan Al-Imam Ahmad rahimahullahu sampai memiliki beberapa riwayat dalam masalah ini, di antaranya:
Pertama: Yang boleh dilihat hanya wajah si wanita saja.
Kedua: Wajah dan dua telapak tangan. Sebagaimana pendapat ini juga dipegangi oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.
Ketiga:  Boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasa tampak di depan mahramnya dan  bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di  rumahnya seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis,  dua telapak kaki, dan semisalnya. Tidak boleh dilihat bagian tubuhnya  yang biasanya tertutup seperti bagian dada, punggung, dan semisal  keduanya.
Keempat: Seluruh tubuhnya boleh dilihat, selain dua kemaluannya. Dinukilkan pendapat ini dari Dawud Azh-Zhahiri.
Kelima:  Boleh melihat seluruh tubuhnya tanpa pengecualian. Pendapat ini  dipegangi pula oleh Ibnu Hazm dan dicondongi oleh Ibnu Baththal serta  dinukilkan juga dari Dawud Azh-Zhahiri.
PERHATIAN:  Tentang pendapat Dawud Azh-Zhahiri di atas, Al-Imam An-Nawawi berkata  bahwa pendapat tersebut adalah suatu kesalahan yang nyata, yang  menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan menyatakan: “Ada  pun sau`atan (yakni qubul dan dubur) tidak perlu dikaji lagi bahwa  keduanya tidak boleh dilihat. Apa yang disebutkan bahwa Dawud  membolehkan melihat kemaluan, saya sendiri tidak pernah melihat  pendapatnya secara langsung dalam buku murid-muridnya. Itu hanya sekedar  nukilan dari Abu Hamid Al-Isfirayini. Dan telah saya kemukakan  dalil-dalil yang melarang melihat aurat.”
Sulaiman At-Taimi berkata: “Bila engkau mengambil rukhshah (pendapat yang ringan) dari setiap orang alim, akan terkumpul pada dirimu seluruh kejelekan.”
Ibnu Abdilbarr berkata mengomentari ucapan Sulaiman At-Taimi di atas: “Ini adalah ijma’ (kesepakatan ulama), aku tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal ini.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 359)
Selain itu ada pula pendapat berikutnya yang bukan merupakan pendapat Al-Imam Ahmad:
Keenam:  Boleh melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki si wanita,  demikian pendapat Abu Hanifah dalam satu riwayat darinya.
Ketujuh:  Boleh dilihat dari si wanita sampai ke tempat-tempat daging pada  tubuhnya, demikian kata Al-Auza’i. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar hal.  392,393, Fiqhun Nazhar hal. 77,78)
Al-Imam  Al-Albani rahimahullahu menyatakan bahwa riwayat yang ketiga lebih  mendekati zahir hadits dan mencocoki apa yang dilakukan oleh para  sahabat. (Ash-Shahihah, membahas hadits no. 99)
4 Bagi orang yang punya kelapangan tentunya, sehingga jangan dipahami bahwa walimah harus dengan memotong kambing. Setiap orang punya kemampuan yang berbeda. (Syarhus Sunnah 9/135)
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam walimah atas pernikahannya dengan Shafiyyah, yang terhidang hanyalah makanan yang terbuat dari tepung dicampur dengan minyak samin dan keju (HR. Al-Bukhari no. 5169).
Sehingga hal ini menunjukkan boleh walimah tanpa memotong sembelihan. Wallahu ‘alam bish-shawab.